Integrasi Artificial Intelligence dan Karya Azhari; Peran Strategis Masisir dalam Membangun Moderasi Beragama Berbasis Digital di Indonesia

 

Tidak dapat dipungkiri, perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan telah menjadi sahabat manusia dalam melakukan berbagai manuver di bidang teknologi. Dari anak-anak hingga lansia, semua kini menikmati kemudahan era digital. Teknologi bukan lagi sekadar alat, melainkan bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Salah satu teknologi mutakhir yang kian mendominasi umat manusia di era digital ini adalah Artificial Intelligence (AI). Berdasarkan data dari laman resmi statista.com, pada tahun 2024 pengguna AI telah menyentuh angka 314,38 juta jiwa di seluruh dunia. Angka ini bahkan diperkirakan akan terus meningkat hingga tahun 2030 dengan total kenaikan sebesar 414,7 juta jiwa atau setara dengan (+131,91 persen).[1] Jika kita kerucutkan pada konteks Indonesia, menurut laporan Datareportal 2023, terdapat 212 juta pengguna internet dengan tingkat penetrasi 77%, 167 juta pengguna media sosial, serta 353 juta sambungan seluler aktif.[2] Data ini menunjukkan potensi besar bagi adopsi teknologi baru, termasuk AI.

Dengan skala adopsi yang begitu masif, AI kini tidak hanya berfungsi sebagai alat bantu komunikasi atau pencarian informasi, tetapi telah menjadi penggerak utama peradaban modern, termasuk dalam ranah keagamaan. Kehadirannya membawa perubahan besar terhadap cara umat mengakses dan memahami ajaran Islam. Di satu sisi, teknologi ini memberikan kemudahan dalam memperoleh fatwa, mempelajari kitab, dan menyebarkan dakwah melalui berbagai platform digital. Namun di sisi lain, muncul pula tantangan serius berupa bias algoritma, tumpang tindih informasi, serta bergesernya otoritas keilmuan yang dapat mengaburkan batas antara kebenaran dan manipulasi data[3]. Jika hal ini dibiarkan, umat Islam berpotensi terjebak dalam arus radikalisasi dan polarisasi dalam skala yang sangat besar.[4] Sebagai respon terhadap fenomena tersebut, integrasi AI dengan Karya Azhari menjadi langkah strategis untuk menghadirkan moderasi beragama berbasis digital yang selaras dengan perkembangan zaman sekaligus menjaga kemurnian ajaran Islam.

Privilege AI, Azhari dan Karya-karyanya

Sebelum menelisik lebih jauh proses pengintegrasian kedua variabel di atas, penting bagi kita memahami dua kunci utama pembangun negeri dan counter radikalisasi juga polarisasi di era digital, yakni AI dan Karya Azhari. Secara sederhana, AI atau kecerdasan buatan merupakan cabang ilmu komputer yang dirancang agar mesin mampu meniru tugas dan perilaku manusia. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh John McCarthy, profesor MIT, pada Dartmouth Conference tahun 1956, yang menjadi tonggak lahirnya AI modern.[5]

Bagai pedang bermata dua,” demikian ungkapan yang terlintas ketika melihat peran AI di tengah kehidupan manusia. Sejak dirancang, teknologi ini berkembang pesat dan membawa pengaruh besar, termasuk dalam ranah keagamaan. Kemampuannya dalam mengakses dan menganalisis data secara cepat memungkinkan proses pembelajaran, pencarian fatwa, hingga digitalisasi khazanah keilmuan Islam berjalan dengan cepat dan efisien.[6] Beberapa contoh penerapannya dapat dilihat melalui Mindar[7] dan Mufti Virtual yang diluncurkan oleh Islamic Affairs & Charitable Activities Department (IACAD) Uni Emirat Arab.[8]

Namun, di balik manfaatnya, AI juga membawa dampak negatif. Prof. Stella Christie menegaskan bahwa meningkatnya ketergantungan terhadap teknologi termasuk AI dapat menurunkan etika, kemampuan komunikasi, dan daya berpikir kritis manusia.[9] Dalam konteks agama, arus informasi yang melimpah pun sering kali menjadikan pemahaman agama dangkal, sebab informasi yang beredar tidak selalu berlandaskan referensi yang kredibel dan bisa dipertanggung jawabkan. Ketergantungan semacam ini pada akhirnya dapat membuat seseorang pasif, kehilangan kemandirian berpikir, dan terjebak dalam jurang ketidaktahuan.

Adapun Karya Azhari merujuk pada karya yang lahir dari tangan dingin para alumni Universitas Al-Azhar Asy-Syarif, baik dalam bentuk tulisan, pemikiran, maupun karya ilmiah. Sepanjang sejarahnya, Al-Azhar terus melahirkan ulama produktif yang mengguncang dunia dengan pemikiran dan karya mereka, mulai dari Imam Mahali, Imam Suyuti, hingga Imam Zakariya Al-Ansari di masa klasik, lalu al-Maraghi, Mahmud Syaltut, Muhammad Abduh, sampai Ahmad Thayyib di masa kontemporer.

Warisan keilmuan tersebut di Indonesia diteruskan oleh tokoh-tokoh seperti M. Quraish Shihab, Hamka, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), hingga M. Nuruddin, yang melalui karya-karyanya telah membawa umat dari ketidaktahuan menuju pencerahan. Privilege utama yang dimiliki dan diwariskan oleh para Azhari melalui karya-karyanya ialah kekuatan nilai moderasi yang sangat kental dan mengakar. Nilai tersebut berhasil diturunkan secara turun-temurun, sehingga menjadikan para penerusnya mampu menangkal pemahaman radikal, sekuler maupun polarisasi secara komprehensif di era digital ini.

Tidak berhenti sampai di sana, jika berbicara tentang Al-Azhar dan Moderasi atau wasathiyyah, maka Grand Syaikh Al-Azhar secara terang-terangan mengajak seluruh pemangku kepentingan, alumni, dan umat Islam untuk mengedepankan dakwah wasathiyyah sebagai jembatan persatuan umat. Lebih jauh dari itu, Ngadri dalam jurnalnya menyebutkan bahwa dukungan dari ulama Al-Azhar disinyalir ingin membentengi umat Islam dari pandangan yang berbeda dengan ajaran Islam, termasuk radikalisasi, sekularisasi dan polarisasi[10].  Penanaman sikap dan paham wasathiyyah yang sangat kuat inilah yang menjadi alasan utama kenapa Azhari melalui karya-karyanya harus bisa dinikmati dan lebih bermanfaat lagi bagi semua orang terlebih di era digital ini. Di era digital, semangat keilmuan Azhari ini perlu diintegrasikan dengan AI agar nilai-nilai Islam tetap hidup, adaptif terhadap perkembangan zaman, dan mudah diakses oleh masyarakat luas.

Integrasi Sebagai Pilar Moderasi Beragama Berbasis Digital

Setelah memahami hakikat dan karakteristik dari kedua elemen utama, yakni AI dengan kecanggihan analisis datanya, serta Karya Azhari dengan kedalaman nilai moderasinya, maka langkah selanjutnya adalah melihat bagaimana keduanya dapat saling melengkapi. Di satu sisi, AI menawarkan kemampuan luar biasa dalam mengelola pengetahuan dan memperluas akses ke khazanah keislaman secara global; sementara di sisi lain, karya-karya Azhari menghadirkan landasan keilmuan dan etika berpikir wasathi yang menuntun teknologi agar tetap berada dalam koridor syariat dan nilai kemanusiaan. Integrasi antara keduanya bukan hanya bentuk adaptasi terhadap perubahan zaman, tetapi juga upaya strategis untuk menjadikan moderasi beragama lebih hidup dan kontekstual di ruang digital. Di antara strategi paling fundamental dan realistis yang bisa dilaksanakan oleh Masisir di waktu sekarang adalah sebagai berikut:

Pertama, digitalisasi karya Azhari. Keunggulan AI dalam mengolah data berskala besar dan menyajikan informasi secara cepat dapat dimanfaatkan untuk memperluas akses masyarakat terhadap khazanah keilmuan ulama dan lulusan Al-Azhar. Digitalisasi ini perlu disertai dengan penerjemahan karya-karya yang belum tersedia dalam bahasa Indonesia, dan di sinilah peran Masisir sangat strategis. Dengan langkah ini, karya ulama Al-Azhar dapat dijadikan sumber utama dalam membangun pemahaman keagamaan yang kokoh, moderat, tekstual dan kontekstual di Indonesia.

Kedua, pembangunan platform berbasis digital yang mudah diakses oleh semua kalangan, baik berupa aplikasi maupun situs web. Platform ini dapat memuat hasil digitalisasi dan terjemahan karya Azhari sekaligus menyediakan pos fatwa keagamaan yang membahas berbagai persoalan klasik maupun kontemporer. Dengan mengadaptasi konsep “mufti virtual” seperti yang dikembangkan di Uni Emirat Arab, layanan ini diharapkan hadir dalam berbagai bahasa disertai dalil pendukungnya untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat modern dalam memahami ajaran Islam secara benar dan moderat.

Sebagai penutup, dua langkah ini menjadi dasar penting dalam menjawab tantangan era digital di ranah keagamaan. Namun, perlu diingat bahwa AI masih memiliki potensi bias dari segi data dan informasi, sehingga Azhari berperan sangat penting dalam mengawal, mengawasi, dan memastikan penggunaannya tetap sesuai dengan koridor syariat. Integrasi antara AI dan karya Azhari bukan sekadar inovasi, tetapi sudah menjadi kebutuhan untuk menjembatani keilmuan masa lalu dengan masa depan. Perpaduan antara kecanggihan teknologi dan kedalaman ilmu para ulama diharapkan mampu menjadi pilar kebangkitan keilmuan Islam yang adaptif, solutif, dinamis, moderat dan visioner menuju kemajuan bangsa Indonesia secara khusus, dan peradaban  umat manusia secara umum. Maka pada akhirnya, dengan memadukan AI dan karya Azhari, Masisir berpotensi tampil sebagai pelopor mederasi beragama berbasis digital yang akan menyalakan lentera ilmu dan iman di tengah gelombang perubahan zaman



[3] Lihat Allam, S. (2023). Al-Fatawa wa at-tahadiyyat ad-Dzaka’  al-Ishtina’iyy. Jasoor, 50.

[4] Adanya potensi keterjebakan umat dalam arus radikalisasi, polarisasi dan misinformasi dalam skala yang sangat besar berakar dari cara kerja algoritma media digital yang lebih mengutamakan popularitas dibanding validitas. Ditambah dengan kecenderungan sistem AI dan media sosial yang kerap menyajikan pandangan tunggal tanpa landasan referensi yang jelas. Kondisi ini membuka peluang bagi penyebaran paham radikal dan hal lainya yang menyesatkan di kalangan umat Islam yang ada di Indonesia.

[5] Wijaya, Edi. Analisis Penggunaan Algoritma Breadth First Search Dalam Konsep Artificial Intellegencia. 2013

[6] Mauluddin, Moh.  Kontribusi Artificial Intellegance (AI) Dalam Studi  Al Quran: Peluang Dan Tantangan. (Jurnal Studi Islam Volume 11, Nomor 1, Juni 2024)

[7] Mindar adalah sebuah robot humanoid yang digunakan sebagAI pendeta di KodAIji, sebuah kuil Buddha Zen di Kyoto, Jepang. Robot ini dirancang untuk memberikan ceramah dalam bahasa Jepang, Inggris dan Mandarin, dengan tujuan menyebarkan ajaran Buddha ke audiens yang lebih luas. Lihat (Shadiqin dkk, 2023).

[8] AlHurra. (2019). Al-Ula fi al-’Alam DubAI Tuthliq al-Ifta’ bi Taqniyat ad-Dzaka’ al-Ishtina’iy.

[9] https://www.youtube.com/watch?v=trLuk3H9Bog&t=3827s diakses pada Rabu, 8 Oktober 2025

[10] Ngadri. Al-Azhar And Moderate: Exploring The Role Of Alumni Al-Azhar Of Egypt In Strengthening Ummah Unity In Indonesia Through The Concept Of "Wasathiyyah". Religio Education, Vol 2(2) (2022) 116-118


Oleh: Nabil Irtifa Afrizal Khoeri

(Peraih Juara 1 lomba karya tulis esai dalam rangka Harlah 22 Tahun Fismaba Mesir dan Haul Masyayikh)

Lebih baru Lebih lama