Revolusi Digital Masisir: Peluang Baru, Masalah Lama

Beberapa dekade lalu, mahasiswa Nusantara di Al-Azhar menunggu berbulan-bulan untuk menerima kabar lewat surat. Namun saat ini, pesan bisa melewati lintasan benua dalam hitungan detik. Ini bukan hanya perubahan teknis, tetapi juga merombak sistem belajar dan cara berpikir. Jika ilmu adalah cahaya, maka digitalisasi merupakan cermin yang memantulkannya. Tak hanya dapat memancarkan dengan jernih, cermin juga bisa memantulkan cahaya dalam serpihan-serpihan semu. Dari layar ponsel, seseorang dapat menjangkau pengetahuan global, mendengar suara ulama lintas negara, dan menyebarkan pendapat moderat khas Al-Azhar ke seluruh dunia. Pada saat yang sama, mereka juga ditantang untuk menyeleksi, menimbang, dan menjaga keseimbangan antara keterbukaan terhadap perubahan dan pelestarian nilai-nilai yang diwariskan.

Bagi Masisir, digitalisasi menciptakan dualitas: membuka akses pengetahuan global dan menyiapkan sarana dakwah moderat, sekaligus menanam benih polarisasi, misinformasi, serta perlahan menjauhkan mereka dari kedalaman tradisi yang menjadi ruh keilmuan Al-Azhar. Transformasi ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah mereka sedang menikmati cahaya ilmu, ataukah justru terjebak dalam pantulan digitalisasi semu?

Fenomena ini tak hanya dialami oleh Masisir, tetapi juga mencerminkan perubahan besar cara masyarakat beragama dan berinteraksi. Situasi ini menjadi sorotan para pengkaji karena menunjukkan bagaimana agama berpindah dari ruang sakral ke ruang virtual, dari mimbar ke platform digital. Kini agama tak hanya berpindah, ia bahkan menyatu dengan dunia digital. Bukan lagi alat bantu, melainkan ruang hidup baru. Kajian kitab berpindah ke Zoom, talaqqi menjelma lewat Youtube, diskusi ilmiah bertransformasi menjadi konten singkat TikTok, sementara opini menyebar cepat melalui Facebook.

Nyatanya, tak ada istilah “makan siang gratis”. Di balik semua kemudahan yang ditawarkan, ruang digital mematok harga yang sangat mahal. Ketika agama memasuki ruang digital, maka sesuatu yang esensial mulai tergerus, kedalaman tradisi keilmuan, misalnya. Pesan-pesan agama yang dahulu perlu dipelajari bertahun-tahun, kini tersedia instan dalam bentuk video singkat, meme, dan konten FYP TikTok. Akibatnya, makna tersirat dari pesan tersebut tidak tersampaikan, apalagi dipahami. Orang lebih tertarik terhadap apa yang menghibur dan relevan untuk dirinya, bukan apa yang menantang pikirannya.

Hal yang paling diwanti-wanti ketika agama memasuki ruang digital adalah hilangnya proses verifikasi. Siapa pun yang memiliki kuota dapat menyampaikan ceramah agama, menafsirkan ayat, atau menerjemahkan hadis tanpa bimbingan dan otoritas keilmuan. Akibatnya, ruang digital menjadi terbuka bagi semua suara; untuk mereka yang berilmu atau sekadar menyampaikan pendapat. Fenomena echo chamber merupakan salah satu gambaran paling nyata dari pengguna dunia maya yang hanya mencari dan mendengarkan pendapat pribadinya saja, tanpa mengindahkan perspektif keagamaan orang lain.[1] Pada keadaan semacam itu, penggunaan media digital pun kehilangan arah. Alih-alih menjadi ruang pembelajaran sistematis, ia lebih sering berfungsi sebagai sarana hiburan. Ketika ruang digital yang seharusnya menjadi ladang edukatif terabaikan, masyarakat mulai gagal menghadapi derasnya arus informasi. Dalam suasana yang demokratis ini, digitalisasi memunculkan potensi baru: penyebaran polarisasi, intoleransi, dan radikalisme yang kian masif.

Polarisasi di ruang digital bukan lagi sekadar perbedaan pendapat, melainkan pertarungan tentang siapa yang paling berhak berbicara atas nama agama. Kini, polarisasi hadir dalam format yang lebih halus namun mengerikan: video singkat yang dipelintir AI, potongan ceramah yang di luar konteks, hingga komentar keagamaan yang dibungkus dengan nada provokatif. Dari sini, lahir dua kutub ekstrem yang saling bertentangan. Di satu sisi, muncul kelompok yang menafsirkan agama secara hitam-putih. Di sisi lain, muncul entitas yang berbicara agama seliar opini pribadi.

Fenomena ini sejatinya merefleksikan gagasan yang pernah ditulis oleh Ali Ahmad Said Esber, atau lebih populer dengan nama pena Adonis. Dalam bukunya yang berjudul al-Tsabit Wa al-Mutahawwil: Bahts Fi al-Ittiba’ Wa al-Ibda’ ‘Ind al-‘Arob, ia menilai bahwa kemunduran masyarakat Arab berakar pada ketidakmampuan mereka untuk membedakan apa “yang tetap” (al-tsabit) dan apa “yang berubah” (al-mutahawwil). Bagi Adonis, kecenderungan untuk mengultuskan masa lalu dan menutup diri dari perubahan telah membekukan dinamika kebudayaan. Persoalannya bukan pada warisan itu sendiri, melainkan pada cara manusia memperlakukannya. Ia tidak menolak tradisi, tetapi menyerukan reinterpretasi secara kritis agar nilai-nilai lama menjadi sumber inspirasi, bukan belenggu.[2]

Meski lahir dari ruang sastra dan kebudayaan, gagasan Adonis dapat dibaca secara heuristik untuk menemukan relevansinya pada konteks masyarakat hari ini. Idenya dapat dieja ulang ketika dibawa ke ruang sosial Masisir, di mana tradisi keilmuan bertatap muka dengan derasnya arus digital. Ketegangan antara al-tsabit dan al-mutahawwil bukan lagi wacana sastra, melainkan kenyataan baru yang harus dikelola dengan bijak.

Kendati ruang digital kerap menjadi biang polarisasi dan arena perdebatan, semangat keilmuan belum benar-benar tercabut dari akarnya. Di sudut-sudut kota Kairo, denyut talaqqi dan diskusi masih sering terdengar. Nalar mahasiswa belum usang, hanya tengah diuji oleh kecepatan zaman. Tradisi kritis belum padam, meski perlahan terkikis oleh algoritma yang gemar menghitung jempol ketimbang dalil. Di antara denting notifikasi, masih terdengar suara lembut masyayikh yang menuntun dengan hikmat. Di tengah realitas semacam ini, sesuatu yang tetap harus dijaga, sedangkan yang berubah hanya perlu ditata. Masisir tidak ditantang untuk memilih antara kitab dan gawai, atau antara al-tsabit dan al-mutahawwil, melainkan diajak untuk menyeimbangkan dan menata keduanya. Solusinya bukan menutup diri, melainkan membentuk ruang digital sebagai perpanjangan tangan (al-mutahawwil) dari cahaya majelis ilmu (al-tsabit). Mewujudkan talaqqi sebagai sumber makna (al-tsabit), sementara media digital sebagai jembatan penyebarannya (al-mutahawwil).

Pada akhirnya, media digital hanya alat, bukan arah. Ia bisa menjadi jalan menuju cahaya, tetapi juga bisa menjadi cermin yang memantulkan kesia-siaan. Semua tergantung pada siapa yang menatapnya. Di tengah riuh opini dan kabut polarisasi, Masisir tak lagi bisa hadir sebagai penonton. Mereka dituntut menjadi penerjemah nilai-nilai Azhari dalam bahasa zaman. Lebih jauh, ruang digital memiliki potensi sebagai sarana memperluas pengaruh moderasi beragama yang telah diwariskan para pendahulunya. Jika dikelola dengan bijak, revolusi digital benar-benar berpotensi menjadi “peluang baru” bagi dakwah Islam yang berakar pada sanad dan otoritas keilmuan, tanpa harus membawa “masalah lama” berupa polarisasi dan kejumudan.



[1] Abdullah Muslich Rizal Maulana, “Agama Digital (Digital Religion) dan Relevansinya terhadap Studi Agama Interdisipliner: Sebuah Tinjauan Literatur”,  AT-TAFKIR: Jurnal Pendidikan, Hukum dan Sosial Keagamaan, vol. 15 no. 2, (2022), hal. 37, https://doi.org/10.32505/at.v15i2.4821.

[2] Nanang Abdillah, “al-Tsabit Wa al-Mutahawwil, Adonis dan Kritik terhadap Kejumudan Kebudayaan Arab-Islam”, Jurnal Fikroh, vol. 4 no. 2, (2010), hal. 118-120.

Oleh: Aldi Susanto

(Peraih Juara 2 lomba kaya tulis esai dalam rangka Harlah 22 Tahun Fismaba Mesir dan Haul Masyayikh)

Lebih baru Lebih lama